Halal Bi Halal
Inilah tradisi khas masyarakat Indonesia. Halal bi halal namanya. Tradisi ini merupakan tradisi yang sudah mengakar di Indonesia. Makanya, banyak orang Indonesia yang menjadikannya sebagai momentum penting di dalam prosesi kehidupannya. Sungguh tidak diketahui secara pasti kapan tradisi ini bermula. Tetapi yang jelas sudah menjadi tradisi khas Indonesia, jauh sebelum Indonesia menjadi semakin modern. Dan anehnya meskipun masyarakat Indonesia sudah modern akan tetapi tradisi ini nampaknya tidak akan lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Mau bukti? Cobalah lihat bagaimana masyarakat Indonesia yang berada di perantauan dan jauh dari sanak kerabatnya rela untuk berhimpitan pulang ke kampung halaman hanya untuk satu hal, berhalal bi halal.
Sungguh merupakan pamandangan yang mengharukan bahwa di akhir Ramadlan terutama di hari ketiga atau keempat menjelang hari raya Idul Fitri mereka berebutan agar bisa pulang ke daerahnya masing-masing dengan tujuan bersalaman dan berucap saling memaafkan di hari nan fitri tersebut. Inilah salah satu keindahan tradisi lokal yang berbasis agama, yaitu sekali setahun mereka berkumpul untuk saling memaafkan dan bertemu dengan kerabat dekat dan jauh dalam rangka meramaikan hari raya Idul fitri yang selalu dirindukan.
Di era modern ini, sesungguhnya bisa saja saling berucap maaf dilakukan lewat ponsel, bahkan juga lewat facebook, twitter dan sebagainya. Akan tetapi kerinduan akan saling bertemu fisik serta kerinduan akan daerah kelahirannya ternyata jauh lebih penting dari apa saja. Makanya, menjelang hari raya semua kendaraan umum penuh sesak. Bus, kereta, kapal laut, pesawat terbang dan penuh dengan penumpang. Bahkan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor menyemut di jalan raya. Bahkan terkadang mereka harus menyabung nyawa. Sungguh hari raya memiliki magnit luar biasa bagi masyarakat Indonesia untuk merayakannya.
Islam yang kita tahu memang sangat menekankan tentang saling memaafkan. Dosa kepada Allah bisa dimintakan langsung ampunannya kepada-Nya. Namun dosa kepada manusia harus kepada yang bersangkutan untuk saling memaafkan. Jika mereka tidak saling memaafkan, maka dosa itu tidak akan diampuni oleh Allah. Islam membangun konsep hablum minan nas sedemikian kuatnya. Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw adalah agama yang sangat mencintai persaudaraan sampai-sampai diungkapkan bahwa: ”barang siapa yang mempercayai Allah dan rasulnya, maka hendaknya menyambung tali silaturrahmi” atau ”tidak beriman salah satu di antara kalian, sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana layaknya engkau mencintai dirimua sendiri”.
Inilah kekuatan Islam dalam membangun persaudaraan tidak hanya kepada sesama umat Islam tetapi juga kepada sesama manusia. Ada ukhuwah Islamiyah dan ada ukhuwah basyariyah. Ada persaudaraan sesama umat Islam dan ada persaudaraan kemanusiaan. Konsep seperti ini yang kemudian ditangkap oleh masyarakat Indonesia dengan konsepsi dan implementasi halal bi halal tersebut. Oleh karena itulah tradisi ini diharapkan akan menjadi yang unik dan terus dilaksanakan. Gempuran teknologi modern melalui teknologi informasi dan komunikasi rasanya juga tidak mampu untuk menghilangkan tradisi ini. Makanya, di tengah gelegak teknologi informasi yang semakin deras ternyata masih dijumpai jutaan orang yang berjejal-jejal untuk merayakan hari lebaran di daerah kelahirannya.
Maka meskipun kita sudah saling memaafkan lewat berbagai medium komunikasi, akan tetapi tradisi halal bi halal akan terus berlangsung. Namun rasanya juga tetap afdlol jika lewat tulisan ringkas ini juga tetap harus dikumandangkan ucapan: ”taqabbalallahu minn wa minkum, minal a’idin wal faizin” mohon maaf lahir dan batin. Semoga setelah kita berpuasa untuk membersihkan dosa kepada Allah, lalu kita juga membersihkan dosa kita kepada sesama manusia, maka kita menjadi fitri, menjadi suci kembali seperti ketika kita dilahirkan oleh Ibu kita ketika bayi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Mudik
Inilah salah satu tradisi di Indonesia yang setiap tahun di lakukan oleh umat muslim di Indonesia. Pada umumnya masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke kampung halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta, terhimpit di bis, dan kemacetan panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai sepeda motor dengan resiko kepanasan dan kehujanan serta kecelakaan yang berisiko tinggi. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang silaturahmi bersama sanak-keluarga.
Mudik sudah menjadi tradisi dikala lebaran. Jutaan masyarakat Indonesia yang merantau berbondong-bondong pulang ke kampong halaman mereka. Mudik atau pulang kampung adalah hal yang dinantikan dan sekaligus merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri, karena mereka senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal yaitu kampung halaman serta kangen akan kasih sayang dan belaian kasih kedua orang tua tercinta.
Menjadi semangat bagi para kaum muslimin untuk pulang ke kampung halaman.
Bukan sekedar budaya masyarakat Indonesia, tapi sudah menjadi bagian dari tradisi atau sebuah peradaban kaum muslimin di Indonesia dan negara asia lainnya, serta sudah menjadi gaya hidup modern orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan, yang berasal dari daerah lain, yaitu mudik lebaran di kampung, bagian dari semangat “Menyambut Hari Raya Idul Fitri”.
Saling mengunjungi antar kerabat, antar tetangga dan teman, adalah bagian dari aktivitas yang rutin dilakukan ketika lebaran. Dengan aktivitas ini, anggota keluarga dan kerabat saling bertemu, bahkan berkumpul di satu tempat. Para tetangga pun saling berjumpa satu sama lain, juga dengan teman-teman yang dikenal. Berangkat dari semua ini, momentum lebaran tentunya menjadi kesempatan dan kebahagiaan tersendiri bagi kita semua.
Tradisi Mudik dikaitkan dengan Lebaran
Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran.
Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari lebaran ada dimensi keagamaan, seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah. Mudik ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh kepuasan dan menunjukkan eksistensinya.
Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Jadi sesungguhnya, tradisi mudik lebih disebabkan oleh problem sosial dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya seolah-olah di kota – kota besar mereka telah mencapai sukses.
Sesungguhnya mudik lebaran di Indonesia tidak punya akar tradisi budaya, melainkan lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dan Jakarta sebagai pusat segala-galanya pada waktu itu. Mengingat para pemudik sebagian besar adalah mereka yang belum dapat tinggal dan hidup mapan di Jakarta, maka mudik lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk menunjukkan keberadaannya di Ibukota, menurutnya mereka telah mencapai sukses secara materi maupun sosial. Terlepas dari latarbelakang munculnya tradisi mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun menjelang dan sesudah lebaran selalu sama.
Persiapan bagi Pemudik
Untuk mengantisipasi gangguan kelancaran lalu lintas selama angkutan lebaran di jalur mudik dan balik, Kementerian Perhubungan telah berkoordinasi dengan pihak-pihak yang tekait, seperti : Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah dan Kepolisian.
Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk mudik, terutama bagi pengendara sepeda motor ataupun kendaraan mobil. Berikut ini persiapan yang harus dilakukan :
1. Periksalah kondisi fisik kendaraan anda, baik itu motor maupun mobil;
2. Bagi pengendara sepeda motor, gunakan celana panjang (diutamakan celana jeans), gunakan jaket yang berwarna terang, dan utamakan jaket kulit gunakan sepatu yang aman dan tidak membatasi gerak anda, menggunakan sarung tangan dan masker serta membawa jas hujan.
3. Jangan lupa siapkan obat-obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan membawa perkakas motor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna tentang Persiapan Lebaran 1433 H, mengatakan : “Meskipun mudik lebaran berlangsung setiap tahun dan memiliki pengalaman lengkap dalam mengamankan dan melayani pemudik, akan tetapi tidak boleh menganggap sebagai kegiatan rutin. Selain itu, Presiden mengajak segenap jajaran pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas yang mulia ini, untuk membantu dan melayani saudara-saudara kita yang akan melakukan mudik lebaran tahun ini. Semoga mudik lebaran menjadikan ibadah.
Budaya BADUY
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau“Orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah
Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300–600 M di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya pun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Mata pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.